Saturday, April 14, 2012

Kenangan I


Djogjakarta, 29th January 2011

The power of my mind has been weak ‘till this time. I don’t have any faith as strong as possible I have. And the power of positive thingking is more weak than my negative thingking.
Jadi, apakah salah kalau selama tiga tahun terakhir ini aku berubah dari segi pemikiran dan keyakinan yang ternyata telah mempengaruhi kepribadian dan sifatku? Aku tidak menyalahkan masa lalu, masa sekarang, atau takut akan masa depan. Hanya saja, aku menyalahkan diriku yang masih terikat dengan masa lalu, keluarga, cinta, persahabatan, teman-teman dan memori yang masih tertinggal jauh di dasar hati dan otakku.
Aku pernah mengatakan hal ini kepada seorang sahabat,
Jangan pernah kau melupakan masa lalumu karena sesungguhnya masa lalu mempengaruhi hari ini dan hari esok.
Bila saja kau tetap ingin mengingat kenangan itu maka simpan itu di hatimu tapi kalau kau ingin melupakannya cukup kau simpan kenangan itu di kepalamu.
Lalu sahabatku itu menjawab, “aku ingin tetap menyimpan itu di hatiku.” Bisa saja dia ingin tetap mengenang kenangan itu namun bisa saja dia hanya ingin terlihat bijaksana di depanku. Di hadapan perempuan. Who knows?

**

Bila berbicara tentang kenangan, maka banyak asumsi yang akan lahir dari setiap pemikiran-pemikiran manusia. Ada yang menganggap kenangan itu adalah bukti kalau kita pernah hidup, benar-benar merasakan hidup. Ada yang bilang bahwa kenangan itu adalah sesuatu yang sifatnya abadi maupun sementara. Dan bla bla bla bla. Bagaimana menurutku? Menurutku, kenangan itu adalah sebuah peninggalan layaknya prasasti yang terukir di dalam hati dan di bayangan mata kita walaupun sifatnya tidak nyata. Seperti teori fenomena dan nomena dalam epistemology kiri. Most of the people believe that phenomena is real but in fact the nomena is the most real than phenomena. Fenomena hanyalah apa yang terlihat di depan mata sementra nomena apa yang ada di balik fenomena itu sendiri, dan itulah yang sebenarnya nyata dalam hidup ini. Jadi, bila aku mengatakan kenangan itu adalah bayangan yang tersirat di depan mataku berarti sebenarnya itu tidak nyata karena yang nyata adalah apa yang sebenarnya aku telah alami bersama orang-orang yang pernah ada di bayanganku.
Sungguh rumit memang bila menyertakan teori-teori filsafat, ilmu politik, dan berbagai ilmu lainnya ke dalam kehidupan nyata. Karena pelakasanaan dari teori-teori tersebut sungguh sangat sulit untuk dilakukan. Begitu juga dengan motivasi dan inspirasi yang diberikan oleh Romy Rafaell malam ini. Sampai detik aku melanjutkan tulisanku ini aku masih belum bisa menghadirkan bahkan menciptakan sendiri pikiran-pikiran positif di dalam benak dan otakku.

Saturday, March 31, 2012

Kata Seorang Anak I



Ada yang ingin aku katakan pada seseorang yang telah melahirkan aku ke dunia ini, begitu juga dengan laki-laki yang telah membesarkan aku dengan keringatnya. Bukan Cuma ada, tapi masih banyak hal yang ingin aku utarakan kepada mereka.

Selama dua puluh tahun terkurung di dalam biduk rumah tangga mereka, menjadikan aku sebagai perempuan yang traumatis, hidupku hari ini, besok dan beberapa hari lagi yang masih akan aku jalani ketika aku masih bisa menghirup udara pagi.

Aku memang hanya seorang anak bagi mereka. Seperti kata papa aku masih menjadi gadis kecilnya kecuali aku telah menikah dan angkat kaki dari rumah mereka, lalu apakah aku harus menikah dulu untuk membuktikan bahwa aku telah dewasa sebelum waktu yang mereka perkirakan sebelumnya? Tahukah mereka kalau apa yang mereka telah perbuat di dalam rumah menjadikan aku seorang anak yang berpikir, bertindak, dan berbicara layaknya orang dewasa sebelum waktunya? Ini bukanlah kesalahanku sebagai anak mereka, merekalah yang sepatutnya berpikir seperti ini, bila sebuah pohon tumbuh dengan porsi yang baik sesuai waktu yang direncanakan itu karena siapa yang merawat dan di lingkungan mana ia ditanam. 

Aku sebagai perumpamaan pohon yang sedang di tanam oleh orang tuaku, akan jadi pohon seperti apa aku nantinya itu tergantung mereka.

Djogjakarta, 28 Januari 2011

Kata Seorang Perempuan II


Mungkin saja saat itu kau berpikir saat itu aku adalah pelampiasan satu-satunya yang bisa kau dapatkan di saat kesepian dan kekosongan batin sedang bersamamu selama beberapa tahun terakhir ini, sebenarnya pikiranmu salah. Mungkin saja saat itu aku terkesan seperti perempuan bodoh karena kepolosan dan keluguan seperti yang pernah kau katakan.

Dan, hei! Sebenarnya aku tidak memposisikan diriku sebagai perempuan pelampiasanmu bahkan merasa kalau diriku ini terlalu bodoh sampai harus merelakan diriku direbahkan bersamamu, sama sekali tidak. Yang aku tidak tahu adalah alasannya. Mengapa harus kamu yang menjadi orang pertama? Sementara jauh di sana ada laki-laki yang pernah aku harapkan bisa menjadi yang pertama untukku walaupun tidak bisa menjadi yang terakhir untukku! I don’t even expect that I would falling down in front of you, beside you so close and falling so deep!

Jika saja menurutmu kejadian itu hanya sebuah intermezzo dalam hubungan pertemanan di mana aku dan kamu sedang sendiri dan berasal dari background percintaan yang hamper sama, sebenarnya kamu salah. Karena sebuah intermezzo kehidupan tidaklah akan abadi di dalam memori dan hati seseorang, tapi saat itu adalah momen yang paling aku kenang sampai hari ini. I can’t forget about that night! I can’t erase it out of my mind, and I can’t stop to touch every part of my body when I remembering you by my side.

Hal yang masih menjadi teka-teki dan misteri buatku sampai hari ini adalah bagaimana bisa seseorang seperti dirimu bisa membuat aku lunak? Bisa membuat aku luluh? Dan bisa meraih diriku sampai jarak sedekat itu hanya dengan sekali raihan tangan? Lalu kenapa laki-laki yang aku harapkan dulu tidak bisa melakukannya? Apa karena dulu terlalu banyak ketakutan dalam diriku sehingga aku mengharamkan setiap inci dari tubuhku ini disentuh olehnya? Atau karena dulunya aku amsih terlalu polos dan lugu sampai aku tak tahu apa tujuan dari sebuah hubungan yang aku kenal dengan istilah pacaran?

Aku tak pernah membayangkan akan bertemu dengan laki-laki seperti dirimu secepat ini, yang aku kira akan aku temui setelah aku menghadapi fase di mana aku telah menjadi wanita seutuhnya dan bukan seorang gadis belasan tahun lagi. Tahukah kau bahwa kau telah mengacaukan pikiranku saat ini? Mengobrak abrik harta karun yang aku simpan jauh di dasar hatiku? Mengasah kesabaran dan mentalku? How could you do that to me? Im not your whore, I don’t even wanna be your one night only love for a couple hours you need to stay close with me. Im a virgin of a real love. And I even never been in touched by a guy. And now you are the first who touched my body, half of my body exactly.
Maybe there is no any kind boy so you are the first who could do that at me? It ain’t about I don’t like you more than a friend but I can’t believe that was you who can make me feel like this! Damn you boy! I hate you at this moment and maybe tomorrow I will.

Aku masih diliputi begitu banyak tanda Tanya yang bermain di atas kepalaku, begitu banyak pertanyaan dalam benakku sekarang. Its all about you and me, its all about us! You have to know about that, but how? I don’t even brave enough to tell you these directly. Dan aku juga belum bisa menanyakan semua hal yang menjadi tanda tanya kepadamu, I need a right time to talk with ya. Tapi kapan waktu yang tdpat itu datang, haruskah aku yang mencarinya, menrencanakannya, bahkan harus melanggar garis takdir Tuhanku? Hanya demi kamu seorang boy. Dan apakah kamu peduli denganku? I don’t think so. Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah, apakah kamu masih peduli denganku?

Mungkin sekarang aku bukan lagi perempuan terhormat di hadapanmu dan dihadapan mereka, teman-temanmu. Bukan juga perempuan tegas dan pintar seperti anggapanmu selama ini jauh sebelum pertemuan kita malam itu. Banyak kemungkinan. Tapi aku hanya bisa menyatakan itu sebagai masih mungkin dan belum pasti. Apa pun yang terjadi aku bukan perempuan yang bisa kau jadikan sebagai pelampiasanmu. That’s all that I believe as your friend, and I don’t wanna expect something more from you because now I realize that you could only give me an expectation but not a proves from any words you had said. I know you boy, I know at least on your skin of you self. That’s enough for me.

Djogjakarta, 28 Januari 2011

Kata Seorang Perempuan I


Ketika aku mencoba untuk optimis namun yang aku dapatkan malah hasil dari sebuah pesimistis yang sebenarnya aku hindari. Lalu ketika aku mencoba untuk tetap berpikir positif, kenyataan yang aku dapatkan malah hasil dari sebuah pemikiran negative yang sebenarnya kuhindari. Lalu sebenarnya apa esensi dari berpikiran positif dan optimis bila kekuatan pikiran dan keyakinan bisa dikalahkan oleh takdir? Tuhan secara tersirat mengajarkan kita agar selalu optimis dan think positive dalam setiap keadaan tapi bila kedua hal itu konsisten untuk dilakukan setiap umatnya apakah bisa merubah takdir?

Aku tidak sedang membahas cinta saat ini tapi tidak munafik bila hal ini kutulis karena cinta yang aku rasakan sejak delapan tahun lalu hingga hari ini tiba. Aku ragu untuk menggoreskan kata hatiku sendiri saat ini karena apa yang akan aku tulis mala mini akan membuktikan kalau sebenarnya aku akan membahas tentang cinta seorang perempuan yang ketika pikiran positif dan optimismenya bersatu namun hasilnya nihil. Pikiran negatifnya malah membuktikan hal itu dan pesimistis yang ada di dalam dirinya justru membuktikan hal yang paling dia takutkan.

Dialah perempuan yang aku sebut perempuan yang paling munafik dan naif. Dia pengecut dan egois. Tak pernah sekali pun dalam hidupnya dia memperjuangkan apa yang berhak dia dapatkan sebagai kebahagiaannya sebagai perempuan yang merdeka, dialah perempuan intelek yang terlalu sombong Karena prinsip dan idealismenya sehingga merugikan dirinya sendiri, bahkan melepaskan ornag yang sangat dia sayangi dan baru menyadari kalau ternyata dia sangat mencintai laki-laki itu. Siapakah dia sebenarnya? Aku belum bisa memberitahukan kepadamu siapa jati diri sebenarnya dari perempuan yang satu ini. Tapi kau bisa mengetahui siapa sebenarnya dia ketika kau telah bertemu dengan perempuan yang memiliki ciri seperti dia. 

Wataknya sekeras batu karang, hatinya dingin seperti gunung es yang ketika terkena terpaan panas terus menerus maka akan meleleh sedikit demi sedikit, gengsinya setinggi puncak Himalaya, dan ketika dia berjalan dengan kedua kakinya yang ia tahu hanya bagaimana bisa sampai ke tempat yang ditujunya tanpa menghiraukan apa saja yang ada di sekitarnya. Dan dialah perempuan yang bisa mengenalmu hanya dengan sekali tatapan matanya yang dalam, dia bukan cenayang bukan pula seorang paranormal, dia adalah dia.
Perempuan ini, bila saja dia menyentuhmu dengan jemarinya yang kasar karena pekerjaan rumah yang biasa dia kerjakan maka tak ada apa-apa yang akan kau rasakan selain kulitnya. Hanya saja asal kau tahu, dia akan menyentuhmu dengan kasih sayang yang jarang diberikannya kepada sembarang karena yang ia tahu adalah kasih sayang hanya untuk orang-orang tertentu dan rasa suka bisa untuk siapa saja. 

Sungguh perempuan yang aku sembunyikan jati dirinya ini pernah berkata kepadaku dengan kesungguhan yang aku rasa memang benar apa yang dia katakan itu,

Bila saja hatimu serasa terbakar ketika melihat laki-laki itu, itu karena kamu memang suka dengan dia melebihi cokelat yang biasa kau beli di toko depan kampusmu.
Kalau saja ketika mendengar suaranya dengan perempuan lain wajahmu serasa memerah dan terbakar terik matahari, itu karena kamu memang cemburu dengannya dan itu adalah normal dan bukan pula suatu kelainan yang ditimbulkan oleh reaksi kimia yang manusia sebut itu cinta.
Dan bila nanti kau akan mengorbankan segala yang kau punya demi laki-laki itu, dan memang benar dugaanku kau telah benar-benar jatuh cinta pada dirinya. Kau sudah pernah jatuh cinta padanya, dan ketika kau telah benar-benar cinta padanya itu bukan lagi jatuh cinta namanya tapi tak bisa berdiri karena cinta. Kamu munafik kalau mengingkarinya. Jangan jadi orang yang naif. Idealismemu terhadap laki-laki terlalu kompleks.

Sungguh perempuan yang berbicara padaku itu adalah perempuan yang bisa menyelami hati setiap insane yang sedang dilanda badai asmara, sungguh dia bisa menyentuh apa yang kamu sembunyikan di dasar hatimu walaupun kamu telah menyimpannya begitu rapat di relung hati yang menurutmu paling dalam. Dan dia telah melakukan kedua hal itu padaku. Jika saja dia adalah seorang laki-laki, mungkin aku akan jatuh cinta juga padanya. Aku memang gila. But did you know, crazyness is an important thing in a relationship.

Djogjakarta, 28 januari 2011

Tentang Seorang Perempuan I

Akan aku ceritakan kepadamu tentang seorang perempuan yang kau kira dia seperti perempuan yang lainnya. Aku pun juga sempat berpikir seperti itu ketika pertama kali mengenal dirinya. Perempuan yang aku kira murah seperti perempuan yang aku temui selama ini, dia perempuan yang aku kira bodoh seperti perempuan yang pernah aku cumbui sebelumnya, dan dia perempuan yang aku kira lemah ketika mengeluarkan air mata di saat keterpurukan menghampirinya. Ternyata aku salah, aku salah besar temanku! Sebelumnya, aku menganut paham bahwa aku adalah laki-laki yang punya satu nafsu dan sudah menjadi hak saya untuk memanfaatkannya. Tapi ketika bersama deng`n dirinya nafsuku seakan-akan tidak berfungsi, bukan maksudku tiba-tiba aku impoten atau lemah syahwat tapi aku merasa kalau perempuan ini memiliki daya tarik tersendiri sampai-sampai aku tidak tega bermain nafsu dengan dirinya apalagi sampai bermain hati. Entah ada apa dengan dirinya, sungguh aku tak bisa menggambarkan bagaimana sosoknya secara nyata di seolah-olah abstrak, yang aku tahu dia adalah perempuan yang berbeda.

**

Suatu hari ketika aku sedang bersantai bersama beberapa teman dan perempuan ini melintas begitu saja tepat di samping meja di mana kami selalu menghabiskan waktu setelah jam kuliah selesai. Tempat nongkrong kami ini memenag selalu ramai mulai dari pagi sampai sore hari bahkan ketika waktu maghrib menjelang selalu dipadati dengan mahasiswa-mahasiswa yang sedang tidak kuliah. Mataku langsung melirik ke arah perempuan yang memakai kemeja polos berwarna cokelat dengan dua kancing yang dibiarkannya terbuka dan rambut ikalnya yang menjuntai seperti spiral tampak alami tanpa sentuhan alat. Kulitnya yang berwarna kuning langsat namun agak kecokelatan seperti telah kena terpaan sinar matahari berjam-jam, cara jalannya yang cepat untuk ukuran seorang gadis, dan pandangan matanya tajam seolah menyelidik apa yang sedang ia lihat di hadapannya. Tak sekali pun dia melirik ke arah kanan kirinya sesekali melihat siapa saja yang mungkin enak dipandangi sembari menyusuri jalan di kantin super panjang di kampus ini. Dari kejauhan sampai dia melewati meja di mana aku duduk mataku terus memandangi dirinya sambil sesekali melempar pandangan kea rah temanku agar tidakketahuan aku memeperhatikan dirinya. apa yang kira-kira membuat diriku begitu penasaran dengan perempuan ini sampai aku terus memandangi dirinya padahal dia tidaklah cantik untuk ukuran perempuan cantik pada umumnya, sungguh. Tapi dia punya sesuatu, sesuatu yang tidak dimiliki oleh perempuan mana pun yang pernah aku ajak kencan, aku tiduri dan hal itu sifatnya abstrak. Hari itu adalah pertama kali aku bertemu dengan sosok perempuan seperti dia walaupun aku tak tahu siapa dirinya, siapa namanya bahkan dia angkatan keberapa di kampus ini pun aku tak tahu sama sekali. Bukannya aku tak punya usaha untuk mendekati dia seperti yang sering aku lakukan tapi aku sendiri bingung kira-kira mulai dari mana aku harus memulai usaha untuk mendekati perempuan yang satu ini. Aku harus berusaha sendiri untuk merpati yang satu ini, tanpa sepengetahuan teman-temanku dan tanpa bantuan informasi dari mereka. Sungguh aku sangat penasaran dengan makhluk cantik yang sebenarnya bersembunyi di balik topeng gadis yang sama sekali tidak cantik.
Tiga bulan kemudian..
Sekarang aku adalah mahasiswa semester enam di kampus bergengsi di mana banyak mahasiswa ingin menjadi bagian dari nama tenar institusi yang telah melahirkan banyak bibit unggul di negeri ini. Seperti biasa aku dan beberapa teman menghabiskan di kantin super panjang ini sambil menghisap beberapa batang rokok dan melirik-lirik mahasiswi yang penampilannya tak layak ngampus tapi layak nge-mall. Tiba-tiba pandanganku beralih pada satu meja tepat di barisan tengah yang tidak terlalu jauh dari arah mejaku, di sana ada kumpulan gadis-gadis sedang tertawa dan salah satu gadis begitu lincah dan suaranya paling besar diantara yang lainnya, logatnya bukan seperti orang Jawa mungkin saja dia orang Jakarta, bisa saja Bandung dan sekitarnya. Aku tahu kalau perempuan yang bersuara banter dan rambutnya dijumput ke atas serta beberapa helai rambutnya yang berjatuhan di sisi kiri kanan kepalanya adalah perempuan yang pernah aku perhatikan di kantin ini. Kali ini gaya berpakaiannya berbeda, tak seformal dulu ketika dia masih memakai kemeja cokelatnya. Kali ini dia memakai jeans berwarna hitam dengan kaos berwarna cokelat tua, lengannya dilipat dan sepertinya dia menggunting leher kaosnya itu. Sepertinya perempuan itu berkarakter tomboy. “Jack! Bisa gag sih kamu diem bentar aja? Aku lagi serius ini pengen ngomong. Ha..ha..ha..” seorang gadis yang duduk dihadapan perempuan berkaos cokelat tadi meneruskan tawanya setelah teguran kepada temannya yang bernama Jack. Tapi siapa sebenarnya Jack? perempuan tadi bersama teman-temannya beranjak dari kursi di mana mereka duduk, aku yakin mereka akan melintas di samping mejaku karena ini adalah salah satu jalan terdekat menuju pintu keluar. “Jack, ke perpus yok.. aku mau minjem referensi buku nih. Temenin aku po’o..” gadis bertubuh gemuk itu merengek sambil menarik-narik tas ransel perempuan berkaos cokelat. Berarti namanya adalah Jack. Tapi dia adalah perempuan, bukan laki-laki kenapa namanya harus Jack? mungkin itu hanya nama panggilan tapi kenapa harus Jack?

**

Di Lantai 6..

Beberapa temanku sesekali mencibir seorang gadis yang memakai polo-shirt berwarna merah maroon di depan ruangan 612, katanya gadis itu pasti adalah seorang perempuan murah, anak dugem, bahkan ada yang mengatakan kalau gadis itu sudah tak perawan lagi. Cibiran-cibiran seperti ini memang sudah sering aku dengarkan dari banyak laki-laki bahkan tak jarang aku pun ikut mencibir gadis-gadis yang penampilannya seronok tak karu-karuan yang tak memiliki nilai eksotisme atau nilai seni sama sekali. Aku melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul setengah satu siang dan aku bergegas memasuki ruang kelas 611. Lagi lagi aku bertemu dengan sosok perempuan yang telah membuat aku penasaran setengah mati, kali ini dia memakai polo-shirt merah maroon dan ternyata dia yang dicibir dari tadi oleh teman-teman sekelasku. Kenapa perempuan misterius ini mendapat predikat jelek dari teman-teman sementara aku sendiri belum tahu kalau benarkah dia itu perek atau anak dufem. “ternyata si Jack. kenapa harus Jack yang dicibir perek?” aku bertanya dalam hati.

Jogjakarta, 22 Januari 2011


Membela Tuhan

Mengapa harus ku bela Tuhanku yang sampai hari ini tidak jua menampakkan dirinya dihadapanku? Apakah Dia pernah berpikir untuk membela diriku dihadapan orang-orang yang telah merendahkan diriku dengan fitnah kotor yang mengalir dari mulut-mulut mereka yang hina? Aku tidak yakin kalau Dia telah melakukan hal itu. Mengapa harus ku bela Tuhanku yang tak pernah berbicara kepadaku? Sampai hari ini pun ketika aku masih kuat berdiri sendiri di tengah-tengah caci maki manusia-manusia kotor yang merasa paling suci dibandingkan diriku, sekali pun tak pernah aku dengar kalimat-kalimat pembelaan untuk diriku dari mulut-Nya.

Lalu apakah aku harus membela-Nya? Aku mengorbankan jiwa raga, harta benda, juga keluarga yang menyayangi aku hanya untuk Dia? Haruskah aku membela seorang Dia yang tak pernah Nampak di hadapanku telah membela aku dan keluargaku ketika kehinaan menghampiri kami? Ketika manusia-manusia congkak menari di atas lantai marmer berpesta pora dengan air-air bening membasahi tenggorokan mereka, Tuhanku hanya melihat dari kejauhan, dari atas singgasana-Nya, mungkin sambil tersenyum memaklumi tingkah makhluk ciptaan-Nya, atau mungkin saja miris melihat kenyataan bahwa makhluk ciptaan-Nya yang diciptakan dengan kasih sayang ternyata telah benar-benar melakukan kerusakan di muka bumi. Haruskah aku membela Tuhanku, yang juga adalah Tuhan mereka? Tuhan yang aku sembah, tempatku bersujud dan berdoa. Tempatku meminta dan tempatku kembali nantinya.

Namun apakah Tuhanku itu mendengar rintihan hatiku ketika aku benar-benar terluka dan tidak sanggup untuk menghadapi hidup yang telah diberikan-Nya padaku? Apakah Dia tahu kalau hidup yang telah diberikan-Nya benar-benar berat dan sulit untuk aku tanggung sendiri? Hanya kalimat ini yang bias meringankan beban hatiku, “jangan melihat ke atas, melihatlah ke bawah. Syukuri apa yang kamu miliki sekarang, kurang lebihnya itu adalah rejeki. Masih banyak orang-orang yang lebih kekurangan dibandingkan dirimu.” Apakah Tuhanku tahu kalau aku tidak ingin membela-Nya? Apakah Tuhanku tahu kalau aku lebih memilih diam menahan amarah ketika orang-orang kafir mengolok-olok Tuhanku? Bagaimana aku harus mengatakan pada Tuhanku kalau sebenarnya aku ingin membela diri-Nya bahkan sangat ingin aku membela diri-Nya kemarin, hari ini sampai hari esok di mana aku akan menghadapi hidup terakhirku.

Tapi di sisi lain, apakah Tuhanku akan memaklumi ketakutanku untuk membela-Nya? Apakah Dia akan memaklumi kekhawatiranku bila aku membela-Nya? Bukankah Dia Maha Tahu apa yang ada di dalam hati setiap hamba-Nya? Lalu apa kira-kira yang harus aku lakukan untuk menghindari aksi membela Tuhan?

Monday, May 2, 2011

Bukan Seorang Perompak I

Saya hanya ingin menegaskan sebuah pernyataan dari kenyataan yang memang benar adanya, bahwa saya bukanlah seorang perompak. Yang telah memporak porandakan singgasana hatimu dan semua cinta yang pernah bersemayam di atas mahkotanya. Aku memang hanya sebuah ilusi untuk hidupmu yang sementara tapi kenangan kit tidak akan pernah mati kawan, sang waktu yang akan menyimpan kenangan kita menjadi sebuah memori yang tak habis untuk diceritakan kepada anak cucu kelak sebagai pengalaman mereka untuk menjalani masa muda seperti masa kita sekarang.
Aku mungkin pernah menjadi bagian dari hidupmu, yang pernah ikut mengisi hari-harimu, dan turut merasakan apa yang juga kau rasakan, hanya saja semua itu adalah kenangan yang tak pernah bisa diulang lagi. Kini kau menghukum diriku sedemikian keras seperti yang kau pikirkan, cibiran dan sindiran tak henti-hentinya kau layangkan padaku, tiap-tiap telinga yang tak berdoa kau tiupkan angin kebencianmu padaku, lalu satu per satu dari mereka pergi meninggalkanku seolah-olah saya adalah orang yang paling hina karena telah merebut apa yang bukan menjadi hak milikku, tapi itu terserah padamu. Yang bisa aku lakukan hanyalah diam dan menunggu kebenaran datang dengan sendirinya.